Sabtu, 16 Juni 2012

Incinerator, berkah atau bencana ?

Incinerator solusi untuk menyelesaikan masalah sampah ? BERKAH ATAU BENCANA ?

            Permasalahan sampah di DKI Jakarta sangatlah pelik, dari mulai mencari lokasi penimbunan yang selalu menimbulkan gejolak penolakan masyarakat disekitarnya, sampai mencari solusi penanganan/ pemusnahan yang penuh intrik dan kepentingan bisnis berbagai pihak. Sehingga Gubernur Sutiyoso pun dibuat pusing olehnya, melebihi pusingnya menghadapi para demonstran yang menentang pengangkatannya dulu. Masalah sampah tidak dapat dibiarkan begitu saja, seperti menghadapi demostran didiamkan akan hilang sendirinya seiring berjalannya waktu. Sampah semakin dibiarkan akan semakin menumpuk, menunda membersihkannya berarti semakin menumpuk permasalahan yang akan ditimbulkannya.

            Walaupun demikian pelik, tetapi memusnahkan sampah dengan membakar menggunakan incinarator bukanlah solusi yang tepat, bahkan sangat membahayakan kelangsungan kehidupan. Banyak permasalahan yang ditimbulkan oleh incinerasi sampah dibandingkan manfaat yang dihasilkannya. Memang secara kasat mata volume reduksi yang dihasilkannya sangat menjanjikan, dari segunung sampah padat dapat menjadi hanya beberapa karung abu. Tetapi ada hal yang tidak kasat mata dan dapat dibuktikan secara kimiawi dihasilkan pada proses pembakaran sampah. Banyak senyawaan kimia sangat beracun terbentuk pada proses pembakaran sampah yang tidak terkontrol, apalagi jika sampah yang dibakar adalah sampah yang heterogen, belum lagi ditinjau dari segi ekonomi dan dampak sosialnya.

            Tulisan ini akan mengupas sedikit tentang dampak pembakaran sampah dengan incinerator, sehingga masyarakat umum dapat memahami. Terutama para pengambil kebijakan dalam persampahan, dapat bersikap lebih arif dan berfikir berulang kali, sebelum memutuskan untuk mengolah sampah padat dengan membakar menggunakan incinerator. Hal yang perlu menjadi suatu pertimbangan sangat penting dalam incenerasi sampah ialah, tentang polutan yang dilepaskan ke udara atau media lainnya, biaya yang diperlukan dan tenaga kerja yang tersingkirkan serta hilangnya energi pada proses incinerasi.

            Banyak polutan yang dihasilkan pada incinerasi sampah, apalagi sifat sampah domestik (sampah rumah tangga dan pasar) yang heterogen. Segala macam benda ada didalamnya, sisa makanan, sisa sayuran dan buah-buahan, bekas pembungkus (kaleng, karton dan plastik), kayu, logam, batu, gelas dan lain-lainnya. Sampah yang heterogen ini jika langsung di incinerasi tanpa dilakukan pemilahan sebelumnya maka hasilnya sangatlah berbahaya. Sampah basah, sisa makanan, buah-buahan dan sayuran jika akan diincinerasi memerlukan energi yang sangat besar untuk mngeringkannya sebelum dapat terbakar. Sedangkan material sampah yang berupa logam, batu, tanah dan gelas tidak dapat terbakar, material ini hanya akan menggangu proses pembakaran dan memboroskan energi.

           

Dioksin dan Furan.

Hasil emisi yang paling berbahaya pada pembakaran sampah heterogen ialah terbentuknya senyawa dioksin dan furan. Dioksin dan furan adalah sekelompok bahan kimia yang tidak berwarna dan tidak berbau. Dalam molekulnya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen dan klor. Dioksin terdiri dari 75 senyawaan kimia yang dibedakan oleh posisi dan jumlah atom klornya, sedangkan furan terdiri dari 135 senyawaan.

Dioksin dilingkungan dapat bertahan dengan waktu paro (waktu yang diperlukan sehingga jumlahnya tinggal separonya) sekitar tiga tahun, tetapi akibat yang telah ditunjukkannya karena masuknya dioksin dalam rantai makanan sangat mengerikan. Pengaruh dioksin pada manusia telah banyak menjadi perbincangan dalam dua dekade terakhir, bukan karena kesabilan dari dioksin tetapi disebabkan karena dioxin itu adalah suatu racun yang sangat kuat. Dioksin saat ini dipercaya sebagai senyawa yang paling beracun yang pernah ditemukan manusia, karena dapat menyebabkan kerusakan organ secara luas misalnya, gangguan fungsi hati, jantung, paru, ginjal serta mengganggu fungsi metabolisme dan menyebabkan kerusakan pada sistem kekebalan tubuh. Pada percobaan terhadap binatang di laboratorium, dioksin menunjukkan carcinogenic (penyebab cancer ), teratogenic (penyebab kelahiran cacat) dan mutagenic (penyebab kerusakan genetic). Dari seluruh golongan senyawa dioksin yang paling beracun ialah senyawa 2,3,7,8-Tetra-Chloro-Dibenzo-para-Dioxin atau disingkat 2,3,7,8-TCDD yang menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) mempunyai nilai tingkat bahaya racun (TEF/Toxic Equivalency Factors) adalah 1 (satu) dan ini merupakan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan Strychnine (racun tikus) hanya 1/2000 dan Sianida (banyak digunakan untuk meracuni ikan) yang hanya 1/150.000.


Gambar 1: Rumus molekul Dioksin dan Furan.

Kejadian masa lalu yang menyebabkan manusia terpapar oleh dioksin adalah kasus Orange Agent (yang terkontaminasi dioksin), yaitu herbisida yang digunakan oleh tentara Amerika pada perang Vietnam untuk merontokkan daun agar hutan menjadi gundul dan musuh dapat terlihat. Telah menyebabkan banyak kasus kematian akibat kanker dan bayi lahir cacat di Vietnam usai perang melawan Amerika, bahkan para veteran tentara Amerika pun banyak yang terkena kanker setelah terpapar dioksin. 

Baik dioksin maupun furan tidak mempunyai nilai komersial, senyawaan ini terbentuk secara tidak sengaja karena akibat aktifitas manusia, misalnya pada pembakaran sampah atau produk samping pada pembuatan pestisida seperti Pentachlorophenol (PCP). Pada proses pembakaran sampah, terutama jika sampah yang dibakar adalah material organik yang kompleks (lignin, kayu, kertas, plastik, dll) dengan adanya donor atom Klor (garam dapur/natrium klorida, asam klorida, senyawaan organik yang mengandung klor, plastik/PVC, dll). Campuran material tersebut  jika dibakar pada suhu antara 400oC sampai dengan 600oC sangat berpotensi terbentuk dioksin, apalagi jika pembakarannya tidak sempurna, kekurangan oksigen dan pemanasannya tidak merata. Dioksin 98% terbentuk di fly ash (abu hasil pembakaran) dan bukan di asapnya. Tetapi jika suhu pembakarannya lebih besar dari 800oC (tidak perlu sampai 1500oC) maka dioksin akan hancur terurai membentuk karbon dioksida/CO2 , air/H2O dan asam klorida/HCl.

Pada tahun 2000 lalu, WHO merekomendasikan bahwa jumlah dioksin yang diperbolehkan masuk ke dalam tubuh manusia per hari agar tidak menimbulkan bahaya (Tolerable Daily Intake) adalah 1 sampai dengan 4 pikogram ( 10-12 gram) per kilogram berat badan. Untuk mendeteksi dioksin adalah sangat sulit karena jumlahnya yang sangat kecil sekali sehingga diperlukan suatu instrumen yang sangat sensitif yaitu GCMS (Gas Chromatograph Mass Spectrometer)-High Resolution, bahkan di Indonesia tidak ada satu Laboratoriumpun yang kompeten untuk menganalisanya.



Logam berat dan gas pembentuk hujan asam.

            Selain dioksin dan furan, incinerator juga merupakan sumber utama pencemar logam berat misalnya, mercury (Hg), timbal (Pb), kadmium(Cd), arsen(As), cromium(Cr) dan gas pembentuk hujan asam yaitu oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx). Logam-logam  berat tersebut pada proses incinerasi sangat mudah menguap, walaupun telah berbentuk oksidanya sifat racunnya hampir tidak berkurang. Misalnya mercury, merupakan racun yang sangat kuat menggangu sistem saraf, panca indera dan menurunkan kecerdasan, demikian pula pengaruh logam-logam berat lain pada umumnya.

            Oksida nitrogen (NOx) dan oksida sulfur (SOx) adalah gas pembentuk hujan asam, jika banyak terdapat diudara dan terjadi hujan maka airnya akan bersifat asam. Hujan asam ini dapat menyebabkan korosif pada bangunan/gedung , tanah menjadi tandus dan gatal-gatal jika terkena  kulit, sedangkan gasnya sendiri dapat menyebabkan kerusakan pada sistem pernafasan.



Incinerator.

            Limbah padat (sampah: kota, rumah sakit, pabrik kertas dll) biasanya dimusnahkan dengan dibakar didalam Incinerator (tungku pembakar). Incinerator pada umumnya beroperasi pada suhu antara 400oC - 600oC (suhu yang sangat ideal bagi pembentukan dioksin), jika suhu operasi incinerator dinaikkan hingga lebih besar dari 800oC maka diperlukan biaya operasional yang besar, karena bahan bakar yang diperlukan juga banyak. Disamping hal tersebut peralatan incineratornya juga akan cepat rusak dan berkarat karena suhu tinggi, jika di dalam incinerator digunakan  batu tahan api maka akan mudah pecah atau retak, sehingga biaya perawatan incineratornya akan sangat besar.

            Banyak kaum industriawan pembuat incinerator yang membodohi kita, dikatakan incinerator buatannya sanggup membakar sampah pada suhu diatas 800 oC. Tetapi kalau kita amati dengan seksama, ternyata termometer pengukur suhu di tempatkan sedemikian rupa sehingga yang terukur adalah titik api pembakarnya dan bukan suhu gas buang hasil pembakarannya. Tentunya ini sangat ironis, karena pembentukan dioksin ada didalam gas buang hasil pembakarannya terutama di dalam fly-ash (abu terbang), sehingga persyaratan suhu tinggi diatas 800 oC adalah suhu bagi gas buangnya, bukan hanya suhu proses pembakarannya. Suhu tinggi ini harus tetap dapat dipertahankan ketika material baru sampah padat dimasukkan ke dalam incinerator. Biasanya ketika diberikan input baru sampah padat, maka suhu incinerator akan turun drastis, jika terjadi fluktuasi suhu maka incinerator tersebut merupakan penghasil dioksin.

Ada pakar incinerator lain mengatakan, untuk mengurangi pencemaran dioksin pada emisi gas buang dari incenarator ialah dengan menambahkan filter yang modern. Perlu kita ingat bahwa filter khusus untuk dioksin harganya sangat mahal, dan secara berkala harus diganti karena cepat mampat dan jenuh, tentunya hal ini akan menambah biaya operasional incinerator. Tetapi yang menjadi permasalahan pokok adalah, setelah dioksin terkumpul di dalam filter mau dikemanakan ? mengingat dioksin adalah zat no 1 paling beracun di dunia.

            Di Jepang saat ini penggunaan incinerator untuk membakar limbah padat mulai dilarang, boleh digunakan tetapi dengan pengawasan ketat sambil menunggu teknologi penggantinya. Menurut berita dari www.asahi.com tertanggal 6-April 1999, bahwa Kementrian kesehatan dan kesejahteraan Jepang telah mensurvei  5886 industri yang mengolah limbahnya dengan incinerator, didapatkan 2046 industri terbukti menghasilkan dioksin, sehingga dari jumlah itu 1393 diperintahkan ditutup secara permanen, sedangkan sisanya 653 ditutup secara bertahap.

            Penggunaan incinerator adalah pemborosan, biaya untuk membeli sebuah incinarator berkisar dari beberapa ratus juta hingga beberapa milyar rupiah. Untuk mengoperasikannya jelas diperlukan bahan bakar yang cukup besar, belum lagi biaya perawatan yang luar biasa besarnya karena beroperasi pada suhu tinggi sehingga komponennya cepat rusak dan karatan.(Ingat kasus incinerator sampah di Kodya Surabaya yang hanya berumur beberapa bulan, padahal incineratornya buatan luar negeri yang dibeli dengan harga beberapa milyar dengan uang rakyat).

 Solusi.

            Mengingat bahaya dan kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan incinerator baik secara ekonomi sosial dan dampak perusakan lingkungan, maka perlu dipikirkan dan dikaji lebih mendalam dan seksama tentang penggunaan incinarator untuk pembakaran limbah padat.

Kepada para pembuatan kebijakan atau instansi yang terkait, misalnya Kementrian Lingkungan Hidup agar membuat regulasi yang lebih ketat tentang incenerator jika perlu dilarang digunakan jika telah ditemukan teknologi penggantinya. Incenerator yang telah terlanjur beroperasi harus diawasi secara ketat dan diwajibkan menggunakan sistem pengolah emisi, baik gas buang maupun limbah cairnya, sehingga pencemaran lingkungan dapat ditekan seminimal mungkin.

            Dibalik kegagalan sistem incinerator yang telah ada, sebenarnya hal ini merupakan suatu peluang dan sekaligus tantangan bagi para peneliti di Indonesia, untuk saling berlomba dan mengembangkan ide. Sehingga dapat menciptakan suatu sistem pengolah sampah yang inovatif dengan teknologi yang lebih maju, efisien, tidak boros energi, biaya perawatannya murah dan terutama ramah lingkungan.
re-upload from : www.migas-indonesia.com/files/article/Incinerator_z.doc